Oleh :
Iqbal Hafidz Hakim, S.Hum
Dia memberikan hikmah kepada siapa yang dia
kehendaki. Barang siapa diberi hikmah sesungguhnya dia telah diberi kebaikan
yang banyak dan tidak ada yang dapat menggambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat (ulul
albab). (AL-Qur’an; Al-Baqoroh 269)
Apakah rahasia hidup yang bahagia itu atau apa yang membuat manusia
bahagia ?.... semoga pertanyaan ini disodorkan untuk awalan mengkhutbahi
seseorang. Bukan pula ini menjadi pertanyaan klise yang dijawab klise pula
dengan mengatakan : Bahagia tuh di sini, sambil menunjuk dada. Sama sekali
tidak. Saya hanya berniat berbagi pencarian makna hidup. Dengan berbagi ini
satu sama lain bisa belajar bersama. Terlebih sesungguh-sungguhnya, saya ingin
menimba hikmah dari setiap perjalanan makhluk. Untuk apa ?, bukankah hikmah
bisa dimana saja kemudian kita dianjurkan untuk mengambilnya dan di tiap bilik
hikmah kehidupan itu terdapat kebahagiaan.
Sekedar cerita. Sekembalinya dari kampung halaman, sebuah daerah berdanau
di Sumatra bagian selatan, istri saya membawa oleh-oleh nasihat dari kakek
kami. Seperti halnya para sepuh manusia lainnya yang tidak hanya banyak makan
asam garam, setiap katanya penuh dengan tekanan makna. Ada endapan bakteri
kebaikan yang seksama dalam pituturnya : “Sabar.... selalu ikhtiar. Dang
nyandango dunia. Helau-helau jama se kuasa”. Bahasa lokal ini jiak
diterjemahkan ke dalam bahasa nasional yang cukup baik, kurang lebih menjadi : “Sabar....
selalu berusaha/ikhtiar. Jangan jadi orang suka merusak di dunia (berlaku
adil). Berlaku baik /taatilah sang kuasa”.
Mengapa
oleh-oleh ruhani itu saya jadi teringat pada ucapan seorang teman beberapa
tahun silam di Pojok Kota Madiun. Di subuah warung kopi, ditengah seruput kopi
dan renyah kami makan gorengan. Saat ngetan-ngolon menyulam obrolan hidup
mengalir pelan, tanpa tiba-tiba dia berucap : “Eling eling due urip.
Sejujurnya, nasib seorang kakek sebelumnya ucapan dan teman satu ini dapatlah
kita baca, dengar dengan baik namun belum tentu kita fahami dengan baik dalam
arti menghayatinya, yaitu kita hidup (hayat) dalam ungkapan tadi. Seperti dalam
utaian sebuah do’a, yang dinamakan menghayati adalah : Hatta takuunu
a’maalii wa auroodii kullahaa wirdana. Yang artinya adalah : “Sehingga
perbuatan dan ucapan-ucapanku seluruhnya menyatu”.
Setiap episode kehidupan terdiri dari dua
momen. Pertama, sabar dan yang ke dua, syukur. Ada momen dimana kiat memenuhi
jagad dengan sabar dan adakalanya kita menabur syukur. Bolak-balik antara dua
hal inilah yang membutuhkan perjuangan tidak mudah. Karena disitu dia harus
mampu berguat adil. Keadilan bisa
ditegakkan dengan mematuhi sang maha kuasa atau eling eling duwe urip tadi.
Jika gagap dalam membaca hikmah bolak balik ini maka galau akan datang
bertubi-tubi. Tidak kah hal ini akan menjauhkan kita dari kebahagiaan yang
sesungguhnya ada dalam tiap bilik hikmah.
Saya
pernah membaca sebuah ulasan baik dan menarik di sebuah harian nasional yang
ditulis oleh seorang yang bukan “ustadz”. Dia mendapatka gagasan mengenai hal-hal
kebahagiaan setelah merenungkan arti tasbih, tahmid dan takbir yang diwiridkan
setiap hari namun lagi-lagi mungkin keserigan tanpa maknna yang mendalam.
Menurutnya,
kunci pertama untuk membuka pintu kebahagiaan adalah rela memaafkan. Boleh kita
renungkan kata Subhanallah. Allah lah yang maha suci, Allah lah yang maha
sempurna, sementara manusia, kita ini, sangat terbuka untuk kesalahan dan kealfaan baik yang disengaja maupun
tidak. Dengan memahami konsep ini, setidaknya hati kita semua akan selalu terbuka
untuk memaafkan orang lain. Ini mungkin klise, tp bukankah kita juga selalu
merindukan kata maaf dan Allah adalah Maha Pengampun.
Yang
ke dua adalah bersyukur. Kita semua dapat merenungkan kata Al Hamdulillah.
Orang yang hendak bahagia perlulah kiranya mengucapkan syukur (Al Hamdulillah)
dalam kondisi apapun. Seperti hikayatnya seorang petani miskin yang kehilangan
kuda satu-satunya. Ia hanya mengucap Al Hamdulillah ketika orang-orang di
desanya amatlah prihatin dengan kejadian tersebut.
Seminggu
kemudia, kuda yang hilang itu kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan
kuda liar. Kontan petani miskin tadi menjadi orang kaya. Kembali ia hanya
berkata Al Hamdulillah, ketika orang-orang desa berduyun-duyun mengucapkan
selamat kepadanya.
Tidak
terlampau lama setelah itu, petani ini kembali dirundung musibah. Anaknya yang
berusaha menjinakan kuda liar terjatuh sehingga kakinya patah. Orang-orang desa
sangat prihatin. Sang petani hanya berkata :”Al Hamdulillah”. Ternyata seminggu
kemudian tentara masuk desa untuk mencari para pemuda yang wajib militer. Semua
pemuda diboyong keluar desa kecuali anak petani tadi kerena kakinya patah.
Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat : “Al Hamdulillah”
Kunci
terakhir adalah tidak membesar-besarkan
hal-hal yang kecil. Coba kita renungkan lagi kalimat “Allahu Akbar”,
Allah maha besar. Hanya Allah yang Maha Besar selainnya adalah kecil. Maka
ketika masalah menghampiri diri bukan semata mengatakan, ya Allah saya punya
masalah. Apakah ini salah ?. Tidak. Sering-sering mengeluh kepada Allah adalah
baik daripada mengeluh di depan makhluknya. Hanya saja mengubahnya menjadi,
wahay masalah saya punya Allah, jauh lebih baik, jauh lebih besar memberikan
energi positif. Memberikan dorongan langkah besar dan mantap.
Nah sekarang kita kembali ke diri
masing-masing. Menyelam sedalam-dalamnya ke lubuk hati yang paling dalam.
Mengurai hikmah yang mungkin terlewati tanpa kita nikmati. Selamat mencari,
menemukan kembali hidup. Semoga diberkahi.
0 Response to "MEMBAHAGIAKAN KEHIDUPAN"
Posting Komentar